Tanpa ada pesan verbal yang dilisankan, kami
sebagai anak-anaknya tahu benar bagaimana ibu mengajarkan kami dalam
mendahulukan yang lain. Terlihat jelas dalam hal makanan. Hampir setiap saat
ada makanan spesial, ibu selalu mendahulukan kami. Anak-anaknya. Dan juga ayah.
Sebagai suaminya.
Setiap memasak, jumlah porsinya selalu kurang satu.
Ibu menunggu jika ada yang tidak habis. Atau makan dengan menu lain. Beda
dengan kami. Bahkan sewaktu kami masih kecil pernah ibu makan dari sisa salah
seorang kami. Kami paham benar jika itu makanan yang paling
disukai oleh ibu. Tapi, begitu ada yang melirikkan mata ke mangkok ibu, segera
beliau sodorkan.
Sikap itu yang kini seperti di set-up di kepalaku. Saat ada makanan di
rumah, seperti otomatis harus mendahulukan yang lain dulu. Anak dan istri. Meski
tak se-ekstrim ibu, tapi ada saja
perasaan yang menggerakkan untuk mendahulukan anak dan istri dahulu. Terkadang
khilaf saat makan bersama teman.
Nilai ini juga ada dorongan untuk diwariskan ke
anak-anak. Terutama ke si sulung. Makin bersemangat saat di usia kini, masih
saja sikap egoisnya muncul. Jadi ingat. Temanku yang merasa gagal. Teori
tentang teladan lebih kuat dari pada kata-kata hancur lebur di kelasnya. Berbagai
contoh perilaku baik sudah disuguhkan ke siswanya. Ekstrimnya, tak satupun yang
ikut dilakukan.
Fakta itu kusimpan. Kuevaluasi bagian mana yang
salah. Sehingga tidak efektif berhasil. Ternyata tak cukup dengan contoh teladan. Harus
ada proses ngobrol. Dialektika. Antara Bapak dan anak.
Karena beda jaman dahulu dan sekarang. Dahulu
seorang ibu tanpa komunikasi verbal, contoh teladannya punya kekuatan magic
untuk menggerakkan. Tapi, sekarang setiap gerak harus diverbalkan. Kecepatan
arus informasi membuat manusia tak bisa menyempatkan hadirkan jeda kontemplasi.
Merenung.
Pesan itu yang coba dibangun ke anak. "Nak, engkau itu anak pertama. Sudah cukup
lama merasakan prioritas segalanya sebelum adik-adikmu ada. Sekarang saatnya, mendahulukan adikmu. Coba
misal ayah egois. Beli makan, mainan sendiri kalian tak boleh mendapatkan. Apa
yang kau rasakan?"
Juga pesan verbal futuristik "Nak, engkau
nanti juga akan sebagai orang tua, apa jadinya anak-anak kalian jika kalian
masih saja egois. Sering-sering merenung. Diam berbicara
dengan dirimu sendiri. Adakah yang salah. Manfaat apa yang sudah kau hadirkan
untuk lainnya."
Berondongan kata tentu masih kurang. Di kondisi
pelaksanaannya harus disentil sana sini. Untuk memandunya menyelaraskan apa
yang di pikiran dan kebiasaan. Ini adalah bentuk pewarisan. Legacy. Yang jika
setiap orang tua melakukannya maka generasi selanjutnya layak dikatakan penerus. Nilai mendahulukan yang lain itu akan nampak
bersinar. Ketika mereka, anak-anak menempati level pimpinan. Ketika ditempa
masalah. Musibah
Karakternya
akan menggerakkan sikapnya untuk lebih mendahulukan yang lain. Selain dirinya.Dan itu spontan. Bukan pencitraan. Bukan setelah
terbentur terdesak dengan situasi dan kondisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar