Jumat, 08 Mei 2020

Pewarisan Nilai dalam Keluarga

Tanpa ada pesan verbal yang dilisankan, kami sebagai anak-anaknya tahu benar bagaimana ibu mengajarkan kami dalam mendahulukan yang lain. Terlihat jelas dalam hal makanan. Hampir setiap saat ada makanan spesial, ibu selalu mendahulukan kami. Anak-anaknya. Dan juga ayah. Sebagai suaminya.


Setiap memasak, jumlah porsinya selalu kurang satu. Ibu menunggu jika ada yang tidak habis. Atau makan dengan menu lain. Beda dengan kami. Bahkan sewaktu kami masih kecil pernah ibu makan dari sisa salah seorang kami. Kami paham benar jika itu makanan yang paling disukai oleh ibu. Tapi, begitu ada yang melirikkan mata ke mangkok ibu, segera beliau sodorkan.


Sikap itu yang kini seperti di set-up di kepalaku. Saat ada makanan di rumah, seperti otomatis harus mendahulukan yang lain dulu. Anak dan istri. Meski tak se-ekstrim ibu, tapi ada saja perasaan yang menggerakkan untuk mendahulukan anak dan istri dahulu. Terkadang khilaf saat makan bersama teman. 

Nilai ini juga ada dorongan untuk diwariskan ke anak-anak. Terutama ke si sulung. Makin bersemangat saat di usia kini, masih saja sikap egoisnya muncul. Jadi ingat. Temanku yang merasa gagal. Teori tentang teladan lebih kuat dari pada kata-kata hancur lebur di kelasnya. Berbagai contoh perilaku baik sudah disuguhkan ke siswanya. Ekstrimnya, tak satupun yang ikut dilakukan.

Fakta itu kusimpan. Kuevaluasi bagian mana yang salah. Sehingga tidak efektif berhasil. Ternyata tak cukup dengan contoh teladan. Harus ada proses ngobrol. Dialektika. Antara Bapak dan anak. 

Karena beda jaman dahulu dan sekarang. Dahulu seorang ibu tanpa komunikasi verbal, contoh teladannya punya kekuatan magic untuk menggerakkan. Tapi, sekarang setiap gerak harus diverbalkan. Kecepatan arus informasi membuat manusia tak bisa menyempatkan hadirkan jeda kontemplasi. Merenung. 

Pesan itu yang coba dibangun ke anak. "Nak, engkau itu anak pertama. Sudah cukup lama merasakan prioritas segalanya sebelum adik-adikmu ada. Sekarang saatnya, mendahulukan adikmu. Coba misal ayah egois. Beli makan, mainan sendiri kalian tak boleh mendapatkan. Apa yang kau rasakan?" 

Juga pesan verbal futuristik "Nak, engkau nanti juga akan sebagai orang tua, apa jadinya anak-anak kalian jika kalian masih saja egois. Sering-sering merenung. Diam berbicara dengan dirimu sendiri. Adakah yang salah. Manfaat apa yang sudah kau hadirkan untuk lainnya." 

Berondongan kata tentu masih kurang. Di kondisi pelaksanaannya harus disentil sana sini. Untuk memandunya menyelaraskan apa yang di pikiran dan kebiasaan. Ini adalah bentuk pewarisan. Legacy. Yang jika setiap orang tua melakukannya maka generasi selanjutnya layak dikatakan penerus. Nilai mendahulukan yang lain itu akan nampak bersinar. Ketika mereka, anak-anak menempati level pimpinan. Ketika ditempa masalah. Musibah


Karakternya akan menggerakkan sikapnya untuk lebih mendahulukan yang lain. Selain dirinya.Dan itu spontan. Bukan pencitraan. Bukan setelah terbentur terdesak dengan situasi dan kondisi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar