Tak terasa memang, ketika waktu bergulir begitu cepat. Aktifitas dan rutinitas dianggap biasa. Sehingga bosan dan jenuh dalam beraktifitas juga di anggap biasa. Padahal, terdapat hikmah yang dalam, ketika kita mau mengambil pelajaran dari itu semua. Hikmah ketika, tidak ada waktu yang dapat berulang.
Ramadan merupakan bulan maghfiroh. Bulan ketika ditutup rapat-rapat pintu neraka dan di buka lebar-lebar pintu syurga. Bulan, ketika segala amalan dilipat gandakan, bahkan bulan yang menjanjikan suatu malam dimana malam itu lebih baik daripada seribu bulan. Alangkah bahagianya, bagi orang yang mau mengoptimalkan dirinya di bulan penuh kehormatan ini.
Kedatangan bulan Ramadan bagi kaum muslimin bak kedatangan tamu agung terhormat. Sepertinya momen penyambutan itu belum lama kita rasakan. Dan tak terasa ketika sang tamu agung harus kembali meninggalkan kita. Ya, Ramadan kini benar-benar akan meninggalkan kita.
Kekhawatiran pernah menimpa di kalangan sahabat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. Seperti Ali bin Abi Tholib yang diriwayatkan, dipenghujung Ramadan ia bergumam. “Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang ditolak amalannya agar aku dapat ‘melayatnya’ ”
Ataukah seperti halnya Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam ketika syawal datang, dengan menyantap tiga butir buah kurma sepenuh khidmat ia pun meneteskan airmata. Padahal ia adalah seorang manusia yang telah dipastikan dosa-dosanya terampuni yang telah lalu dan setelahnya.
Lalu bagaimana dengan kita ? Menangislah saudaraku. Menangislah, ketika amalan-amalan yang kita lakukan di bulan Ramadan hanyalah target belaka, tanpa mempertimbangkan proses pembiasaan setelahnya. Hinga kita tidak tau apakah target-target amalan itu berbekas di 11 bulan mendatang.
Menangislah Saudaraku. Menangislah, ketika amalan-amalan yang kita bangun adalah amalan-amalan yang tak tercatat sebagai amalan kebaikan disisi-Nya. Sedang kita masih saja membanggakan target-target yang telah terlampaui di bulan Ramadan.
Menangislah Saudaraku. Atau menangislah, ketika tak ada lagi amalan-amalan kebaikan yang menjaga kita dalam beraktifitas hingga menghalangi kebatilan dan kemaksiatan untuk menyibukkan diri kita.
Menangislah Saudaraku. Menangislah, ketika diri ini tak mampu memanfaatkan kehadiran bulan Ramadan sebagai bulan teristimewa. Sehinga kita melewatkan momen terindah bersamanya untuk mengoptimalkan diri kita dalam beribadah.
Menangislah Saudaraku. Menangislah, ketika diri ini tak mampu lagi berharap dan bersimpuh di bulan penuh magfiroh sedang dosa-dosa menggunung yang kita tak tahu apakah kemudian dosa-dosa itu telah berguguran dan terampuni.
Menangislah Saudaraku. Menangislah, ketika diri ini tak tahu apakah tahun depan akan kembali dipertemukan dengan Ramadan. jikalau ternyata Ramadan kali ini adalah benar-benar Ramadan kita yang terakhir.
"Ya Allah, Sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf (dari kesalahan), Mencintai maaf, maka maafkanlah aku (dari kesalahan-kesalahanku)".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar