Saya
pernah bertugas untuk melaksanakan supervisi dan konseling kepada para guru.
Dalam salah satu konseling terhadap seorang ibu guru, saya bertanya bagaimana
ibu membuka sebuah materi baru kepada para siswa.
Ibu
tersebut menjawab dengan tenang. Beliau memberikan contoh pelajaran matematika
dengan topik bilangan loncat. Yang beliau lakukan adalah bertanya kepada para
siswa apakah itu bilangan loncat. Kemudian beliau menggambar di papan tulis
beberapa petak berisikan nomer secara berurutan, mulai 1,2,3 dan seterusnya.
Kemudian,
pada petak bernomer 1, beliau menggambar seekor katak. Kemudian, beliau
memperagakan katak tersebut melompat ke petak nomer 3,lalu melompat lagi ke
nomer 5 dan nomer 7. Dari kegiatan ini, beliau kemudian menyimpulkan kepada
para siswa bahwa nomer 1,3,5,7 itulah contoh bilangan loncat.
Secara sekilas apa yang dilakukan ibu
guru tersebut cukup menarik. Daya kreasinya untuk membuka wawasan siswa kepada
sesuatu hal yang baru layak saya apresiasi. Namun, di sisi lain, saya merasakan masih ada sesuatu
yang kurang. Kekurangannya adalah dalam proses tersebut, para siswa hanya
sebagai penonton. Anggota badan yang aktif hanya telinga dan mata, sedangkan
badannya tetap duduk manis di kursi.
Pertama
ibu bisa memanfaatkan lantai keramik kelas sebagai petaknya. Ibu cukup
menuliskan di lantai keramik tersebut, nomer 1,2,3 dan seterusnya. Kemudian,
para siswa secara bergantian maju ke depan kelas, untuk mempraktekkan seperti
katak, melompat dari petak 1 ke petak 3,5,7 dan seterusnya. Saya juga
menegaskan kepada guru tersebut, akan lebih baik apabila semua siswa
memperagakannya.
Meskipun secara bentuk sama, tetapi dua hal di atas akan menghasilkan
dampak yang berbeda. Sesuai prinsip pembelajaran aktif, bentuk yang kedua akan
lebih mudah masuk ke dalam pengetahuaan siswa. Hal ini disebabkan para siswa
mengalami sendiri materi yang mereka pelajari, kemudian mereka bisa menemukan
sendiri ilmunya, bisa menyimpulkan sendiri materinya dengan bahasa mereka.
Para siswa mungkin saja lupa dengan penjelasan ibu guru
dengaan model yang pertama. Namun, saya sangat optimis, para siswa tidak akan
mudah melupakan saat – saat mereka melompat di depan kelas disaksikan teman –
temannya, bahkan mungkin diiringi dengan gelak tawa karena berbagai lompatan
yang dilakukan dengan gerakan – gerakan yang lucu.
Ibu
guru tersebut memahami apa yang saya sampaikan. Namun, itu belum cukup bagi
beliau. Beliau mengomentari
saran saya itu dengan sebuah pertanyaan baru. Dengan model pembelajaran seperti
yang saya sarankan, apakah suasana kelas tidak menjadi ramai?
Kemudian
saya menjawabnya, justeru itulah pembelajaaran yang baik dan menyenangkan. Ramainya
siswa di kelas karena antusias mengikuti kegiatan yang difasilitasi oleh guru
itulah yang kita harapkan. Itu pertanda, mereka menikmati proses belajar,
mengikuti dengaan sepenuh jiwa daan emosi.
Sebaliknya,
kita bayangkan keadaan sebuah kelas yang ketika gurunya mengadakan sebuah ide
proses belajar, para siswanya enggan melaksanakan. Ini berarti proses belajar
itu tidak menarik bagi siswa. Kalau sudah demikian, para siswa akan mencari
kesibukan sendiri, dan akhirnya kelas pun pelan - pelan akan menjadi ramai
juga, namun ramai bukan karena proses belajar yang tidak menarik.
Demikian, salah satu cuplikan dari
kegiatan konseling saya kepada seorang guru terkait pembelajaran aktif. Semoga
bermanfaat. Amin.
Keterangan:
Tulisan di atas pernah dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat pada hari Senin, 14 Mei 2012, Rubrik Pendapat Guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar