Senin, 06 April 2020

Pembelajaran Aktif Seorang Guru


Saya pernah bertugas untuk melaksanakan supervisi dan konseling kepada para guru. Dalam salah satu konseling terhadap seorang ibu guru, saya bertanya bagaimana ibu membuka sebuah materi baru kepada para siswa.

Ibu tersebut menjawab dengan tenang. Beliau memberikan contoh pelajaran matematika dengan topik bilangan loncat. Yang beliau lakukan adalah bertanya kepada para siswa apakah itu bilangan loncat. Kemudian beliau menggambar di papan tulis beberapa petak berisikan nomer secara berurutan, mulai 1,2,3 dan seterusnya.

Kemudian, pada petak bernomer 1, beliau menggambar seekor katak. Kemudian, beliau memperagakan katak tersebut melompat ke petak nomer 3,lalu melompat lagi ke nomer 5 dan nomer 7. Dari kegiatan ini, beliau kemudian menyimpulkan kepada para siswa bahwa nomer 1,3,5,7 itulah contoh bilangan loncat. 

Secara sekilas apa yang dilakukan ibu guru tersebut cukup menarik. Daya kreasinya untuk membuka wawasan siswa kepada sesuatu hal yang baru layak saya apresiasi. Namun, di sisi lain, saya merasakan masih ada sesuatu yang kurang. Kekurangannya adalah dalam proses tersebut, para siswa hanya sebagai penonton. Anggota badan yang aktif hanya telinga dan mata, sedangkan badannya tetap duduk manis di kursi.

Kemudian saya memberikan masukan kepada ibu guru tersebut. Alangkah baiknya, ibu melibatkan para siswa dalam proses tersebut. Dengan demikian siswa mengalami sendiri prosesnya. Saya memberikan saran sebagai berikut.

Pertama ibu bisa memanfaatkan lantai keramik kelas sebagai petaknya. Ibu cukup menuliskan di lantai keramik tersebut, nomer 1,2,3 dan seterusnya. Kemudian, para siswa secara bergantian maju ke depan kelas, untuk mempraktekkan seperti katak, melompat dari petak 1 ke petak 3,5,7 dan seterusnya. Saya juga menegaskan kepada guru tersebut, akan lebih baik apabila semua siswa memperagakannya. 

Meskipun secara bentuk sama, tetapi dua hal di atas akan menghasilkan dampak yang berbeda. Sesuai prinsip pembelajaran aktif, bentuk yang kedua akan lebih mudah masuk ke dalam pengetahuaan siswa. Hal ini disebabkan para siswa mengalami sendiri materi yang mereka pelajari, kemudian mereka bisa menemukan sendiri ilmunya, bisa menyimpulkan sendiri materinya dengan bahasa mereka.

Para siswa mungkin saja lupa dengan penjelasan ibu guru dengaan model yang pertama. Namun, saya sangat optimis, para siswa tidak akan mudah melupakan saat – saat mereka melompat di depan kelas disaksikan teman – temannya, bahkan mungkin diiringi dengan gelak tawa karena berbagai lompatan yang dilakukan dengan gerakan – gerakan yang lucu.

Ibu guru tersebut memahami apa yang saya sampaikan. Namun, itu belum cukup bagi beliau. Beliau mengomentari saran saya itu dengan sebuah pertanyaan baru. Dengan model pembelajaran seperti yang saya sarankan, apakah suasana kelas tidak menjadi ramai?

Kemudian saya menjawabnya, justeru itulah pembelajaaran yang baik dan menyenangkan. Ramainya siswa di kelas karena antusias mengikuti kegiatan yang difasilitasi oleh guru itulah yang kita harapkan. Itu pertanda, mereka menikmati proses belajar, mengikuti dengaan sepenuh jiwa daan emosi.

Sebaliknya, kita bayangkan keadaan sebuah kelas yang ketika gurunya mengadakan sebuah ide proses belajar, para siswanya enggan melaksanakan. Ini berarti proses belajar itu tidak menarik bagi siswa. Kalau sudah demikian, para siswa akan mencari kesibukan sendiri, dan akhirnya kelas pun pelan - pelan akan menjadi ramai juga, namun ramai bukan karena proses belajar yang tidak menarik.

Demikian, salah satu cuplikan dari kegiatan konseling saya kepada seorang guru terkait pembelajaran aktif. Semoga bermanfaat. Amin. 

Keterangan:
Tulisan di atas pernah dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat pada hari Senin, 14 Mei 2012, Rubrik Pendapat Guru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar