Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘hoaks’ adalah ‘berita bohong atau tidak
bersumber’. Dikutip dari sebuah jurnal, Survey Mastel (2017) mengungkapkan bahwa dari
1.146 responden, 44,3% diantaranya menerima berita hoax setiap hari dan 17,2%
menerima lebih dari satu kali dalam sehari.
Fenomena
hoaks ini dipandang menimbulkan beragam masalah terutama saat Indonesia sedang
berdemokrasi dalam pemilihan umum. Maraknya hoaks ini terlebih karena adanya
tujuan untuk membangun citra negatif kubu yang menjadi lawannya dan citra
positif kubu yang dibela.
Dampak
hoaks tentu sangat meluas, bahkan dapat mengancam kehidupan antar kelompok
sosial di Indonesia. Besar peluang tindakan kejahatan terjadi antar
kelompok sosial hingga mengarah pada tindakan agresi.
Kehadiran
hoaks dalam budaya kita tak mudah dihindari begitu saja. Namun, berbagai
antisipasi untuk mengeliminasi dampak negatif dari hoaks menjadi poin penting
untuk menyelamatkan bangsa ini.
Penyelesaian konflik antarkelompok berdasarkan
Realistic Conflict Theory, adalah
bagaimana mengubah konflik, pertikaian, atau perselisihan menjadi sebuah bentuk
kerjasama.
Menurut Sherif, konflik antar
kelompok itu akan berubah menjadi kerjasama antarkelompok apabila kepada mereka
memiliki kesamaan tujuan secara meyakinkan. Sementara itu, menurut teori
identitas sosial, kesamaan tujuan tidak cukup dan membutuhkan kesamaan ciri/identitas
agar tiap kelompok merasa saling memiliki sehingga dapat mencapai tujuan.
Hoaks berdampak besar karena memunculkan
konfik-konfik yang mengancam persatuan dan keutuhan bangsa kita. Dengan
mengetahui maraknya hoaks di Indonesia, kita
sebagai warga negara indonesia perlu bijak dalam menyikapinya. Kesadaran
tentang bahaya hoaks sebagai parasit bagi demokrasi menjadi poin penting agar kita lebih selektif
dalam menerima informasi.
Keterangan: Tulisan di atas pernah dimuat di Harian KR Yogyakarta tahun 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar