Seorang
santri duduk sendiri di baris belakang mushala dekat pintu masuk. Ia menunggu
kiainya yang sedang menyelesaikan wirid. Ia memiliki pertanyaan penting yang
ingin ditanyakan kepada sang kiai. Santri itu baru mendekat kepada sang kiai
saat tanpa berbalik badan sang kiai memanggilnya.
Kejadian
serupa pernah saya alami. Saya mendatangi salah satu guru saya di kantornya.
Saya menunggu guru saya di luar kantor dengan harapan guru saya sudah selesai
urusannya lalu bersedia menemui saya. Saya sudah membuat janji untuk bertemu
beliau sebelumnya.
Seseorang
datang dan bertanya pada saya, "Mau ketemu siapa?" "Mau ketemu
ustadz’. "Sudah janjian belum?" “Sudah”. "Jam berapa
janjiannya?" "Pagi”. "Kalau janjian itu dipastikan jamnya!"
"Nggih. Saya tunggu saja".
Seketika
saya merasa bingung. Apakah salah jika saya menunggu dan membiarkan guru saya
menyelesaikan urusannya lalu baru bertemu dengan saya saat waktunya luang?
Apakah kepada ustadz saya boleh meminta cepat atau memaksanya hadir pada jam
yang tepat?
Oh,
mungkin saya salah menempatkan diri karena saya sedang berada di lingkungan
industri, bukan sedang menjadi santri. Begitu saja saya berpikir waktu itu.
Lama
sekali saya berusaha mencari pembenaran atas kata-kata orang itu. Bagi saya,
memandang rumah guru tanpa melanjutkan niat bertemu dengannya itu terkadang
sudah menjadi jawaban tersendiri atas pertanyaan yang rencananya ingin saya
tanyakan pada guru saya. Mungkin terlalu aneh ya? Terlalu menunggu kesempatan,
tidak menciptakan momentum? Entahlah, menurut saya menunggu guru itu bagian
dari adab.
Bertemu
dengan guru, bercakap-cakap, bertanya, berkesempatan menimba ilmu, menurut saya
semua itu sama misterinya dengan perkara jodoh. Saya sangat bersyukur ketika
Allah mempertemukan saya dengan seorang guru karena barangkali ada ilmu yang
tak akan pernah bisa saya pahami dari salah seorang guru namun mudah tersingkap
begitu saja saat bertemu dengan seorang guru yang lain.
Kata
salah satu guru saya, "Sesungguhnya tidak ada yang namaya murid bodoh. Dia
hanya belum bertemu dengan guru yang tepat". Saya tambahkan, "atau
waktunya belum tepat," sebagaimana Nabi Musa berguru kepada Nabi Khidir
'alaihis-salaam.
Saya
pun teringat kisah Sunan Kalijaga. Beliau diminta menunggu gurunya kembali ke
tempat mereka bertemu sampai seluruh tubuh Sunan Kalijaga dipenuhi lumut di
pinggir sungai. Syaikh Abdulqadir AlJailani juga harus menetap di bantaran
sungai tepi kota Baghdad sebelum akhirnya diizinkan bertemu dan bermulazamah
dengan gurunya. Menunggu guru itu bagian dari tarbiyah Ilahiyah, masih menurut
saya.
Dengan
berkembangnya metode pembelajaran jarak jauh, semoga tidak melunturkan adab
para penuntut ilmu dalam memuliakan guru. Kesempatan untuk berkomunikasi dengan
guru melalui jalur pribadi yang bisa dilakukan sewaktu-waktu tak boleh
menafikan bahwa guru memiliki privasi yang merupakan bagian dari adab untuk
dihormati.
Jangan
sampai ilmu kita terhalang untuk masuk ke dalam sanubari hanya karena guru yang
tidak ridho tersebab kita terlalu menuntut cepat hingga guru kita tak punya
cukup waktu untuk beristirahat atau menjadi terhambat memenuhi hajat.
Abu
‘Ubaid Al Qosim Bin Salam berkata, “Aku tidak pernah sekalipun mengetuk pintu
rumah seorang dari guruku, karena Allah berfirman,
“Dan sekiranya mereka
bersabar sampai engkau keluar menemui mereka, tentu akan lebih baik bagi
mereka. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (QS. Al Hujurat ayat 5).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar